setiap anak itu cerdas
setiap anak itu cerdas

Saya baru saja selesai membaca sebuah buku bergenre fiksi autobiografi yang berjudul “Totto Chan: Gadis Cilik di Jendela”. Sebuah novel yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi dan berhasil menjadi buku best seller di Jepang serta menjadi perbincangan di tingkat internasional. Buku ini berkisah tentang perjalanan pendidikan seorang anak gadis cilik bernama Tetsuko yang dipanggil dengan Totto-chan. Gadis cilik yang cerdas dan periang tapi dikeluarkan dari sekolahnya karena dianggap nakal dan menyusahkan guru-gurunya.

Ada beberapa hal yang menarik bagi saya dalam buku ini selain karakter utama. Yang pertama adalah sekolah Tomoe Gakuen, sekolah dasar kedua di mana Totto-chan belajar. Desain sekolahnya unik dengan menggunakan sistem pendidikan yang unik pula. Sistem pendidikan yang menerabas sistem konvensional kala itu, bahkan mungkin sistem pendidikan saat ini. Sistem pendidikan yang membebaskan anak untuk belajar apapun yang mereka mau dan pada jam berapapun yang mereka kehendaki. Tidak ada jadwal tertentu mereka harus belajar materi ini pada jam sekian. Setiap anak bebas memilih akan belajar apa, sehingga di jam yang sama suasananya riuh ada yang membaca buku, ada yang sibuk mengutak-atik tabung percobaan fisika bagi yang menyukai sains dan lain-lain. Intinya tidak ada anak yang menganggur, menguap ngantuk karena mendengarkan ceramah guru tentang materi yang sama sekali tidak mereka pahami sebagaimana kondisi di banyak sekolah di Indonesia saat ini. Di sekolah Tomoe Gakuen tersebut, anak-anak diajari pengetahuan dengan cara yang menyenangkan. Sekolah yang menanamkan mindset untuk mendapat pengetahuan sesuai cita-cita, bukan nilai. Bahkan ada pelajaran jalan-jalan setelah jam makan siang sehingga anak-anak dapat belajar biologi, sejarah dan moral dalam waktu yang bersamaan. Learning by doing. Menarik bukan? Benar-benar sistem belajar yang membebaskan.

Hal menarik yang kedua adalah kepala sekolah Tomoe Gakuen yang bernama Sosaku Kobayashi. Sosok yang digambarkan sangat sabar dan sangat mencintai anak-anak sehingga benar-benar tahu cara memperlakukan anak dengan tepat. Sosok yang mampu mendidik ranah kognitif, afektif dan psikomotorik siswa dengan cara yang tepat. Sepertinya sulit mencari sosok seperti ini dalam kehidupan sekarang. Cerdas dan visioner, tapi tegas walau tidak keras. Sosok yang mampu mengajari dan mengkondisikan moral pada anak didiknya tanpa membuat mereka merasa tertekan. Sosok yang mampu mengajari penghargaan terhadap orang lain juga mampu menumbuhkan rasa percaya diri murid-muridnya walau kadang dengan menggunakan metode yang tak lazim. Dan itu berhasil.

Lalu saya teringat pada teori Operant Conditioning-nya B.F. Skinner – seorang psikolog berkebangsaan Amerika yang menjadi salah satu tokoh utama aliran Behaviorisme. Saya berfikir apakah Kobayashi menerapkan teori tersebut? Saya ragu dengan hal itu, karena pendidikan di Tomoe Gakuen tidak monoton dan statis, tapi bersifat dinamis. Tidak hanya terjebak pada stimulus dan respon sebagaimana konsep utama dalam teori Behavioristik. Cenderung pada konstruktivisme malahan.

Saya bermimpi, lima puluh tahun lagi di Indonesia akan banyak sekolah macam Tomoe Gakuen bertebaran. Sekolah yang benar-benar menerapkan arti pendidikan secara tepat. Tentu dengan pendekatan-pendekatan Islami, sehingga tujuan akhir pendidikan sebagaimana yang disampaikan imam al-Ghazali yakni tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat dapat terwujud dengan baik.

Harapan ke depan, pendidikan di Indonesia benar-benar dapat membuat anak-anak merdeka untuk belajar. Demi pengetahuan, bukan hanya untuk nilai. Semoga. Wallohu a’lam bi nafsil amri wa haqiiqotil haali.

By: Ahmad Hasani Zain as-Shiddiqy

By maldiq

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *