Durian Jatuh

Karya: Pipih Dwi Qomariyah (XI-L Takhossus)

Malam itu aku mendapatkan jadwal kerja lembur. Saat kulirik jam yang tergantung di dinding, jarum jam tersebut mengarah ke angka dua belas. Aku merenggangkan badan, seraya mematikan komputer. Kurasakan tiap inci tubuhku yang dihujam rasa lelah. Aku ingin cepat pulang dan merebahkan diri di kasur yang nyaman.

Setelah memastikan pintu dan gerbang kantor terkunci rapat, aku melaju membelah keheningan malam dengan motorku. Di perjalanan, kudapati sebuah warung kopi di sisi kanan jalan. Aku yang tiba-tiba ingin menikmati secangkir kopi di tengah dinginnya malam pun memutuskan untuk mampir sebentar.

“Kopi satu, Pak. Gulanya sedikit saja, ya,” ucapku pada pria paruh baya penjaga warung. Sambil menunggu pesanan, aku duduk di kursi bambu. Kurapatkan jaket untuk menghalau dingin. Tidak butuh waktu lama, Bapak penjaga warung itu datang dengan membawa kopi pesananku. Dengan senyum ramah, Ia pun menyapa, “malam-malam begini mau ke mana, Mas?”

“Mau pulang, Pak. Habis dari tempat kerja,” jawabku dengan senyum santun. “Oalah.. habis lembur toh?” aku mengangguk sebagai jawaban. Sambil menikmati kopi, kami bercakap-cakap santai. Si Bapak lebih banyak bercerita tentang anak-anaknya. Mulai dari anak bungsu yang giginya baru tumbuh dua, lalu anak kedua yang minta dibelikan sepeda, dan terakhir si anak pertama yang punya indra keenam warisan dari kakeknya. Untuk pembahasan yang ini, aku hanya tersenyum canggung menanggapi, karena sejatinya aku tidak tertarik dengan hal-hal mistis. Bagiku itu tak lebih dari sekadar takhayul.

Tanpa sadar aku pun menguap, secangkir kopi itu ternyata tak mampu membendung kantukku. Aku pamit pulang pada si Bapak penjaga warung. “Masnya lewat alas kidul, kan? Hati-hati. Banyakin baca doa biar nggak dijahilin.” Aku paham maksud Bapak itu, meski aku tidak percaya dengan hal-hal semacam itu, kupaksakan diri untuk mengangguk dan tersenyum untuk menghargai nasihatnya.

Motorku pun melaju kembali membelah jalanan lenggang. Pepohonan rindang memenuhi kiri-kanan jalan. Lampu penerangan amat minim hingga menyebabkan kegelapan leluasa menyelusup di sepanjang jalan. Orang-orang mungkin akan begidik ngeri berkendara di tengah suasana seperti ini.

Buk!

Aku terkejut saat sebuah benda berbentuk bulat tiba-tiba terjatuh dari atas ke tengah jalan, tepat satu meter dari motorku yang spontan ngerem mendadak. “Astaghfirullah!” ucapku seraya mengelus dada karena kaget.

Meski begitu, aku turun dari motor untuk mengecek benda apa yang barusan jatuh. Saat aku mendekat, barulah dapat kulihat wujudnya yang ternyata adalah buah durian. Seketika, aroma khas buah itu menyeruak masuk ke hidungku. Aku yang kebetulan doyan durian pun tergiur untuk membawanya pulang.

Aku lanjut berkendara. Satu tanganku fokus menyetir dan satunya lagi menenteng tangkai durian. Di perjalanan aku menjumpai sebuah warung kopi (warkop) yang sama persis dengan warkop yang beberapa menit lalu kusinggahi. Awalnya aku tidak merasakan suatu keanehan, sampai motorku melaju kembali melewati warung itu. Lagi, aku mengernyit bingung. Apa orang-orang di daerah ini membangun kedai dengan desain serupa?

Kutambah laju kecepatan motorku. Aku berusaha melupakan perihal warung yang sudah tiga kali kulewati. Namun, aku bertambah bingung ketika lagi-lagi melewati tempat itu. Aku mulai merasa kesal. Akhirnya kuputuskan untuk berhenti dan mengamati warung kopi itu. Dan aku pun menyadari bahwa warung itu adalah tempat yang sama milik pria paruh baya tadi. Tapi bagaimana bisa aku melewatinya hingga berkali-kali?

“Banyakin baca doa, Mas. Biar nggak dijahilin.” Perkataan Bapak penjaga warung itu terngiang-ngiang di kepalaku. Aku pun mulai dilanda kepanikan. Apa aku tengah ‘diputar-putar’? kurasakan tiap helai bulu kudukku meremang.

Di tengah kepanikan itu, aku mendengar suara tawa cekikikan. Aku menoleh ke sana-ke mari namun tak kudapati siapapun selain diriku di jalanan yang lengang itu. Suara tawa itu terasa dekat, asalnya dari arah bawah. Aku mulai ketakutan ketika durian yang kupungut tadi mulai bergerak-gerak.

Aku memberanikan diri untuk melihatnya dan seketika aku menyesali perbuatanku. Aku terkejut setengah mati, jantungku berdegup kencang dan seolah ingin meledak. Mataku melolot ngeri ketika kudapati buah durian itu kini menjadi sepotong kepala yang tengah tertawa cekikikan di depan wajahku. Gigi-giginya runcing dan tampak tajam, bola matanya putih rata, sedangkan rambutnya-yang tadi berupa tangkai-amat kusut seolah tak pernah disisir selama ratusan tahun.

Kepala itu membuka mulut dan dari sana menjulurlah sebuah lidah panjang yang seolah ingin menjilati kaca helmku. Ketika lidah itu hampir menjangkauku, di situlah aku tersadar dari keterkejutan, detik itu juga aku berteriak kencang, “Aaaa!”

“Mas, mas, bangun, Mas.” Aku terbangun dengan keringat dingin membasahi dahi. Napasku tersenggal-senggal, sementara ekspresi ngeri masih bertengger di wajahku. Bapak penjaga warung itu menatapku khawatir.

“Mimpi apa, Mas? Kok sampai teriak-teriak begitu?” tanya Bapak penjaga warung yang tadi membangunkanku. Aku tak mampu berkata-kata, mimpi tadi terasa sangat nyata. Kemudian si Bapak penjaga warung memberiku segelas air. Ia menceritakan bahwa semalam aku tertidur di tengah-tengah cerita Bapak itu tentang anaknya. Ia yang tidak tega membangunkanku pun hanya menyelimutiku dan menunggu aku bangun hingga menjelang pagi. Setelah kuceritakan mimpiku dan menenangkan diri, aku pamit pulang pada Bapak itu. Dia berpesan padaku untuk berhati-hati. Di perjalanan pulang, aku melewati tempat yang sama seperti dalam mimpi. Ada buah yang tiba-tiba jatuh di tengah jalan. Tapi, kali ini aku tak akan mendekatinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *